I.
PENDAHULUAN
Sebelum memasuki kajian tentang Surat
Al-Hujurat Ayat ke-6, kita perlu mengetahui arus utama kajian surat Al-Hujurat.
Hal ini diperlukan untuk memotret secara tepat arah kajian ayat ini, sebelum
kemudian melakukan penjelasan terhadap makna ayat agar tidak kehilangan kendali
menuju orientasi yang tidak tepat.
Surat Al-Hujurat ini diturunkan setelah Fathu
Makkah (penaklukan kota Makkah). Sejak saat itu suku-suku yang ada di Jazirah
Arab berbondong-bondong masuk Islam. Termasuk di dalamnya adalah Suku
al-Musthaliq, yang di pimpin oleh al-Haris bin Dlirar. Meskipun masuknya Islam
al-Harits diawali dengan sebuah peperangan, toh keislaman al-Harits ini tidak
diragukan. Apalagi putrinya yang bernama al-Juwairiyah dinikahi oleh Rasulullah
saw.
Surat al-Hujurat secara keseluruhan membimbing
kehidupan bermasyarakat yang Islami. Surat ini mengajarkan bagaimana bersikap
yang benar terhadap Rasulullah, bagaimana bersikap yang baik terhadap sesama
mukmin, dan juga mengajarkan kewajiban dan tanggung jawab terhadap masyarakat
Islam. Petunjuk-petunjuk tersebut bertujuan untuk menjaga dan memelihara
keutuhan masyarakat Islam, dijauhkan dari kecerobohan internal umat Islam yang
membahayakan masyarakat Islam.
Tak bisa dielakkan, kehidupannya manusia selalu
dihadapkan pada berbagai masalah, baik pribadi maupun sosial. Tidak ada
kehidupan tanpa masalah, justru dengan berbagai masalah itulah manusia hidup.
Demikian juga yang dihadapi oleh kaum muslimin dan masyarakat Islam. Berbagai
masalah muncul di hadapan mereka untuk dihadapi dan diselesaikan dengan
sebaik-baiknya. Dalam menyelesaikan masalah ini, ada satu faktor kunci yang
menjadi dasar pijakan, yaitu informasi. Bagaimana pun, seseorang mengambil
keputusan berdasarkan kepada pengetahuan, dan pengetahuan bergantung kepada
informasi yang sampai kepadanya. Jika informasi itu akurat, maka akan bisa
diambil keputusan yang tepat. Sebaliknya, jika informasi itu tidak akurat akan
mengakibatkan munculnya keputusan yang tidak tepat. Dan giliran selanjutnya,
muncul kedhaliman di tengah masyarakat.
II.
AYAT DAN
TERJEMAH SURAT AL HUJURAT AYAT 6
“ Hai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang
kepada kalian membawa suatu berita, maka telitilah “
( QS. Al-hujurat (49): 6)
Al-Umm,
Bab At-Tatsabbut fi al-hukm wa Ghairih[1]
III.
ASBABUN NUZUL
Ayat ini, menurut laporan Ibn ‘Abbâs,
diturunkan berkaitan dengan kasus al-Walîd bin ‘Uqbah bin Abî Mu’yth, yang
menjadi utusan Rasul saw. untuk memungut zakat dari Bani Musthaliq. Ketika Bani
Musthaliq mendengar kedatangan utusan Rasul ini, mereka menyambutnya secara
berduyun-duyun dengan sukacita. Mendengar hal itu, al-Walîd, menduga bahwa
mereka akan menyerangnya, mengingat pada zaman Jahiliah mereka saling
bermusuhan. Di tengah perjalanan, al-Walîd kemudian kembali dan melapor kepada
Nabi, bahwa Bani Musthaliq tidak bersedia membayar zakat, malah akan
menyerangnya. Rasul saw. marah, dan siap mengirim pasukan kepada Bani
Musthaliq. Tiba-tiba, datanglah utusan mereka seraya menjelaskan duduk
persoalan yang sesungguhnya. Lalu, Allah menurunkan surat al-Hujurat (49) ayat
6 ini.[2]
Dalam suatu riwayat di kemukakan
bahwa Al- Harits menghadap Rasulullah saw. Beliau mengajaknya untuk masuk
Islam. Ia pun berikrar menyatakan diri untuk masuk Islam. Rasulullah saw
mengajaknya untuk mengeluarkan zakat, ia pun menyanggupi kewajiban itu, dan berkata;
“ Ya Rasulullah, aku akan pulang kekaumku untuk mengajak mereka masuk Islam dan
menunaikan zakat. Orang – orang yang mengikuti ajakanku akan ku kumpulkan
zakatnya. Apabila telah tiba waktunya,
kirimlah utusan untuk mengambil zakat yang telah ku kumpulkan itu. “
Ketika Al- Harits telah banyak
mengumpulkan zakat, dan waktu yang telah di tetapkan telah tiba, tak seorang
utusan pun menemuinya. Al- Harits mengira telah terjadi sesuatu yang
menyebabkan Rasulullah saw marah kepadanya. Ia pun telah memanggil para
hartawan kaumnya dan berkata,” Sesungguhnya Rasulullah saw telah menetapkan
waktu untuk mengutus seseorang untuk mengambil zakat yang telah ada padaku, dan
beliau tidak pernah menyalahi janjinya. Akan tetapi saya tidak tahu mengapa
beliau menangguhkan utusannya itu. Mungkinkah beliau marah? Mari kita berangkat
menghadap Rasulullah saw.
Rasulullah saw, sesuai dengan waktu
yang telah ditetapkan, mengutus Al- Walid bin Uqbah untuk mengambil dan
menerima zakat yang ada pada Al- Harits. Ketika Al-Walid berangkat, di
perjalanan hatinya merasa gentar, lalu ia pun pulang sebelum sampai ketempat
yang dituju. Ia melaporkan (laporan palsu) kepada Rasulullah saw bahwa
Al-Harits tidak mau menyerahkan zakat kepadanya, bahkan mengancam akan
membunuhnya.
Kemudian Rasulullah saw mengirim
utusan berikutnya kepada Al-Harits. Ditengah perjalanan, utusan itu berpapasan
dengan Al-Harits dan sahabat- sahabat nya yang tengah menuju ketempat
Rasulullah saw. Setelah berhadap- hadapan , Al-Harits menanyai utusan itu ; “
Kepada siapa engkau di utus?” Utusan itu menjawab ; “ Kami di utus kepadamu.”
Dia bertanya; “ Mengapa? “ Mereka menjawab;” Sesungguhnya Rasulullah saw telah
mengutus Al-Walid bin Uqbah. Namun, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau
menyerahkan zakat, bahkan bermaksud membunuhnya.” Al-Harits menjawab ; “Demi
Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar- benarnya, aku tidak
melihatnya. Tidak ada yang datang kepadaku.
Ketika mereka sampai dihadapan
Rasulullah saw, bertanyalah beliau ;” Mengapa engkau menahan zakat dan akan
membunuh utusanku?” Al-Harits menjawab ;” Demi Allah yang telah mengutus engkau
sebenar- benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Maka turunlah ayat ini (QS. 49
Al-Hujurat :6) sebagai peringatan kepada kaum mukminin agar tidak hanya menerima
keterangan dari sebelah pihak.[3]
IV.
MUNASABAH AYAT
Munasabah suratt al-Hujurat ayat 6 adalah ayat
selanjutnya yaitu ayat ke-7 dan 8.
“
Dan ketahuilah olehmu bahwa dikalanganmu ada Rasulullah. Kalau dia menuruti
(kemauan)mu dalam beberapa urusan, benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan,
tetapi Allah menjadikanmu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah
dalam hatimu serta menjadikanmu benci kepada kekufuran, kefasikan dan
kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” ( Al
Hujurat ayat ayat 7 )
“Sebagai
karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah maha mengetahui dan maha bijaksana “
( Al Hujurat ayat ayat 8 )
Ayat yang selaras maknanya dengan Surat Al
Hujurat Ayat 6
]وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً[
“Janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan,
dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya. (QS al-Isrâ’
[17]: 36).
V.
TAFSIR
SURAT AL HUJURAT AYAT 6
Imam Syafi’i
berkata, “ Allah memerintahkan kepada seseorang yang akan memutuskan suatu hal
pada orang lain agar terlebih dahulu melakukan klarifikasi.”
Manaaqib asy-Assfi’iyy, Bab Maa Jaa fi Kuruujih ilaa al-Yaman wa Maqaamuh bihaa,
Tsuma fi Hamlih min al-Yaman ilaa Haaruun[4]
Imam Baihaqi menuturkan bahwa khalifah ar-Rasyid
mendengar kabar tentang Syafi’i yang hendak mengusir seorang ‘alawi ( pengikut
Imam Ali ) dari Yaman, padahal kabar itu tidak benar. Ar-Rasyid marah, kemudian
dia mengirim pasukan untuk menagkap Imam Syafi’i. Selain Imam Syafi’i ada 17
orang yang juga ditangkap.
Muhammad
bin Hasan memberikan pertolongan, namun itu tidak berarti apa-apa.
Ar-Rasyid membunuh sembilan orang diantara mereka,
kemudian Imam Syafi’i dibawa menghadap kepadanya.
Begitu berada dihadapan Ar-Rasyid, Imam Syafi’i
berkata, “ Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang
kepada kalian membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya agar kalian
tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan ( kecerobohan ), yang akhirnya
kalian menyesali perbuatan itu.” ( QS. Al-hujurat (49): 6)
Ar-Rasyid kemudian berkata, “ Bukankah berita
tentangmu itu benar ?”
“ Wahai Amirul Mukminin, bukankan setiap orang dimuka
bumi ini yang mengaku pengikut Ali pasti beranggapan bahwa semua orang adalah
budaknya ? Bagaimana mungkin aku akan mengusir seseorang yang akan menjadikanku
sebagai hambanya ? bagaimana mungkin aku dengki dengan keutamaan Bani Abdi
Manaf sedang aku bagian dari mereka dan mereka bagian dariku : “ jelas Imam
Syafi’i. Amarah ar-Rasyid pun reda.[5]
Konteks turunnya ayat ini memang terkait dengan
kasus al-Walîd, tetapi berdasarkan kaidah: Al-‘ibrah bi’umûm al-lafzhi lâ bi
khushûsh as-sabab (makna ayat ditentukan berdasarkan keumuman ungkapan,
bukan berdasarkan spesifikasi sebab), maka ayat ini berlaku untuk umum.
Berdasarkan ayat inilah, para ulama hadis kemudian membuat kaidah periwayatan
hadis sehingga menjadi karakteristik khas ajaran Islam. Tidak hanya itu, secara
praktis, ayat ini juga menjadi kaidah berpikir para politikus untuk mengambil
keputusan sehingga pantas jika Rasul saw. menyatakan:
»اَلتَّبَيُّنُ مِنَ اللهِ وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ«
Pembuktian itu
berasal dari Allah, sedangkan ketergesa-gesaan itu berasal dari setan. (Dikeluarkan
at-Thabari).[6]
Ayat ini dinyatakan oleh Allah kepada
orang-orang yang beriman agar mereka berhati-hati ketika ada orang fasik
membawa berita kepadanya; agar mereka memeriksanya dan tidak menelannya
mentah-mentah (Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû in jâ’akum fâsiqun binaba’in
fatabayyanû). Dalam konteks ayat ini, Allah menggunakan jumlah
syarthiyyah (kalimat bersyarat), in jâ’akum (jika [orang fasik]
membawa kepadamu), dengan fâ’il (subyek) yang berbentuk sifat, fâsiqun
(orang fasik). Berdasarkan konteks tersebut, dapat diambil mafhûm
mukhâlafah (konotasi terbalik) sehingga para ulama membolehkan diambilnya
hadis ahâd yang disampaikan oleh orang yang adil dan tidak fasik.[7]
Hal yang sama juga berlaku untuk pengetahuan yang disampaikan oleh seorang guru
yang adil.
Fâsiq (fasik) sendiri
mempunyai konotasi al-khurûj min at-thâ‘ah (keluar dari ketaatan).
Menurut as-Syawkâni, ada yang menyatakan, bahwa fasik dalam konteks ayat ini
adalah dusta atau bohong.[8]
Sementara itu, menurut istilah para ahli fikih, fasik adalah orang yang
melakukan dosa besar dengan sengaja atau terus-menerus melakukan dosa kecil.[9]
Penggunaan kata naba’ (berita) dalam
ayat ini mempunyai konotasi, bahwa berita tersebut adalah berita penting, bukan
sekadar berita. Menurut ar-Râghib al-Ashfahâni, berita pada dasarnya tidak
disebut naba’ sampai mempunyai faedah besar, yang bisa menghasilkan
keyakinan atau ghalabah azh-zhann (dugaan kuat). [10]Di
sisi lain, kata naba’ tersebut merupakan bentuk nakirah (umum),
yang berarti meliputi semua jenis dan bentuk berita; baik ekonomi, politik,
pemerintahan, sosial, pendidikan dan sebagainya. Karena itu, dapat disimpulkan,
jika ada orang fasik membawa berita penting, apapun jenis dan bentuknya, yang
dapat digunakan untuk mengambil keputusan, maka berita tersebut harus
diperiksa. Sedangkan kata tabayyanû, berarti at-ta‘arruf wa tafahhush
(mengindentifikasi dan memeriksa) atau mencermati sesuatu yang terjadi dan
berita yang disampaikan. [11]
An tushîbû
qawman bi jahâlatin (supaya kalian tidak menjatuhkan keputusan
kepada suatu kaum tanpa pengetahuan). Bi jahâlatin (dalam kondisi kalian
tidak mengetahui) adalah keterangan hâl (keadaan yang menjelaskan
perbuatan subyek). Menurut as-Shâbûni, konteks bi jahâlatin tersebut
sama artinya dengan wa antum jâhilun (sementara kalian tidak mengetahui)[12]
sebuah keterangan yang menjelaskan keadaan subyek ketika membuat keputusan atau
kesimpulan. Keadaan ini umumnya terjadi karena informasi yang digunakan untuk
mengambil keputusan atau kesimpulan tersebut tidak dicek terlebih dulu.
Fatushbihû ‘alâ
mâ fa‘altum nâdimîn (sehingga kalian menyesali apa yang telah
kalian lakukan). Penyesalan tersebut terjadi tentu karena keputusan yang
dijatuhkan sebelumnya ternyata salah, tidak akurat, dan merugikan orang lain;
termasuk pengambil keputusan.
VI.
MAKNA KANDUNGAN AYAT
Turunnya ayat ini untuk mengajarkan kepada kaum muslimin
agar berhati-hati dalam menerima berita dan informasi. Sebab informasi sangat
menentukan mekanisme pengambilan keputusan, dan bahkan entitas keputusan itu
sendiri. Keputusan yang salah akan menyebabkan semua pihak merasa menyesal.
Pihak pembuat keputusan merasa menyesal karena keputusannya itu menyebabkan
dirinya mendhalimi orang lain. Pihak yang menjadi korban pun tak kalah
sengsaranya mendapatkan perlakuan yang dhalim. Maka jika ada informasi yang
berasal dari seseorang yang integritas kepribadiannya diragukan harus diperiksa
terlebih dahulu.
Perintah memeriksa ini diungkapkan oleh al-Qur’an dalam kata
fatabayyanu. Makna kata tersebut akan semakin mantap kita fahami
dengan memperhatikan bacaan al-Kisa’i dan Hamzah, yang membaca kata tersebut
dengan fatatsabbatu. Kedua kata tersebut memiliki makna yang mirip.
Asy-Syaukani di dalam Fath al-Qadir menjelaskan, tabayyun maknanya adalah
memeriksa dengan teliti, sedangkan tatsabbut artinya tidak terburu-buru
mengambil kesimpulan seraya melihat berita dan realitas yang ada sehingga jelas
apa yang sesungguhnya terjadi. Atau dalam bahasa lain, berita itu harus
dikonfirmasi, sehingga merasa yakin akan kebenaran informasi tersebut untuk
dijadikan sebuah fakta.
Informasi yang perlu dikonfirmasikan adalah berita penting,
yang berpengaruh secara signifikan terhadap nasib seseorang, yang dibawa oleh
orang fasik. Tentang arti fasik, para ulama’ menjelaskan mereka adalah orang
yang berbuat dosa besar. Sedang dosa besar itu sendiri adalah dosa yang ada
hukuman di dunia, atau ada ancaman siksa di akhirat. Berdusta termasuk dalam
salah satu dosa besar, berdasarkan sabda Rasulullah saw;
“Maukah kalian aku beritahukan tentang dosa besar yang
paling besar, lalu beliau menjelaskan, kata-kata dusta atau kesaksian dusta”
(HR al-Bukhari dan Muslim)
Dan mengenai berita yang perlu dikonfirmasi adalah berita
penting, ditunjukkan dengan dibunakannya kata naba’ untuk menyebut
berita, bukan kata khabar. M. Quraish Shihab membedakan makna dua kata itu.
“Kata naba’ menunjukkan berita penting, sedangkan khabar menunjukkan
berita secara umum. Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa berita yang perlu
diperhatikan dan diselidiki adalah berita yang sifatnya penting. Adapun isu-isu
ringan, omong kosong, dan berita yang tidak bermanfaat tidak perlu diselidiki,
bahkan tidak perlu didengarkan karena hanya akan menyita waktu dan energi.”[13]
Dalam soal mentabayyun berita yang berasal dari orang yang
berkarakter meragukan ini ada teladan yang indah dari ahli hadis. Mereka telah
mentradisikan tabayyun ini di dalam meriwayatkan hadis. Mereka menolak setiap
hadis yang berasal dari pribadi yang tidak dikenal identitasnya (majhul hal),
atau pribadi yang diragukan intgritasnya (dla’if). Sebaliknya, mereka
mengharuskan penerimaan berita itu jika berasal dari seorang yang
berkepribadian kuat (tsiqah). Untuk itulah kadang-kadang mereka harus melakukan
perjalanan berhari-hari untuk mengecek apakah sebuah hadis yang diterimanya itu
benar-benar berasal dari sumber yang valid atau tidak.
Tetapi sayang, tradisi ini kurang diperhatikan oleh kaum
muslimin saat ini. Pada umumnya orang begitu mudah percaya kepada berita di
koran, majalah atau media massa. Mudah pula percaya kepada berita yang
bersumber dari orang kafir, padahal kekufuran itu adalah puncak kefasikan.
Sehingga dalam pandangan ahlul hadis, orang kafir sama sekali tidak bisa
dipercaya periwayatannya.
Teladan untuk bertawaqquf terhadap
berita yang tidak jelas ini pernah diberikan oleh Rasulullah saw dan para
shahabat ra ketika terjadi berita dusta mengenai diri Aisyah. Orang-orang
munafik sengaja menyudutkan Aisyah, yang tertinggal di tengah padang pasir
sekembali dari perang bani Mushthaliq. Mereka menuduhnya telah melakukan
selingkuh dengan orang lain. Para shahabat yang telah teruji keimanannya ketika
ditanya tidak ada yang mau memberikan komentar, hingga akhirnya Allah swt
menjelaskan persoalan itu yang sebenarnya. Dan dengan berhati-hatinya terhadap
berita ini menjadikan kaum mukminin terhindar dari penyesalan, karena menfitnah
orang, apalagi dia Ummul Mukminin.[14]
VII.
ASPEK PENDIDIKAN DALAM PEMBINAAN MASYARAKAT
Begitu
besar keburukan dan kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh suatu berita yang
tidak akurat, begitu
banyak kemudharatan dan kedzaliman yang akan menimpa suatu kaum dikarenakan
berita yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Oleh sebab itu, agama Islam ini
telah mengajarkan kepada kita untuk dapat mengelola berita atau informasi
secara bijaksana sesuai dengan Allah SWT syariatkan dan Rasulullah saw
contohkan, yaitu :
1.
Berbaik sangka atau Husnudzan
Apabila kita mendapatkan berita ataupun informasi yang buruk tentang saudara muslim kita, maka yang pertama kali harus kita kedepankan adalah membangun prasangka baik kita kepadanya (husnudzan). Boleh jadi bahwa berita buruk yang sampai ke telinga kita adalah berita fitnah dan jauh dari kebenaran, dan boleh jadi berita tersebut adalah benar adanya tetapi juga jauh dari keakuratan. Sehingga alangkah bijaksananya jika kita tidak mempercayai begitu saja berita yang kita dengar tentang saudara muslim kita lainnya apalagi jika berita tersebut disampaikan oleh seorang munafik dan kafir.
Allah SWT berfirman di awal surat Al-Hujurat ayat 12 :
Apabila kita mendapatkan berita ataupun informasi yang buruk tentang saudara muslim kita, maka yang pertama kali harus kita kedepankan adalah membangun prasangka baik kita kepadanya (husnudzan). Boleh jadi bahwa berita buruk yang sampai ke telinga kita adalah berita fitnah dan jauh dari kebenaran, dan boleh jadi berita tersebut adalah benar adanya tetapi juga jauh dari keakuratan. Sehingga alangkah bijaksananya jika kita tidak mempercayai begitu saja berita yang kita dengar tentang saudara muslim kita lainnya apalagi jika berita tersebut disampaikan oleh seorang munafik dan kafir.
Allah SWT berfirman di awal surat Al-Hujurat ayat 12 :
يا أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم
“Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari prasangka
(kecurigaan), karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa..”
(Qs.49 : 12)
(Qs.49 : 12)
2.
Melakukan tabayyun
Allah SWT firmannya di surat Al-Hujurat ayat 6 :
Allah SWT firmannya di surat Al-Hujurat ayat 6 :
“Wahai orang-orang yang beriman !, jika seorang
yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya,
agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang
akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu”
(Qs. 49 : 6)
(Qs. 49 : 6)
Allah SWT mengajarkan kita untuk melakukan
tabayyun atau memeriksa kembali dengan seksama terhadap berita yang kita terima,
baik dari seorang muslim, lebih-lebih jika kita terima dari seorang kafir.
Hal ini kita lakukan agar kita tidak terjebak
fitnah yang dilontarkan oleh orang-orang yang fasik, yang menginginkan
tersebarnya keburukan orang lain. Kita harus berlaku adil terhadap sesama
muslim, bahkan keadilan terhadap berita yang menceritakan tentang dirinya yang
tersampaikan kepada kita. Melakukan tabayyun lebih baik dilakukan terhadap
kedua pihak, terhadap objek yang diberitakan maupun kepada pembawa berita
ataupun pihak yang disengketakan, sehingga kita bisa mendapatkan informasi yang
akurat dan berimbang.
Dengan begini, kita bisa menjaga diri dari
berpikiran buruk atau su’udzan terhadap saudara muslim kita lainnya, dan kita
juga terhindar menjadi penyebar berita buruk yang mengada-ada tentang saudara
muslim kita tersebut.
3.
Tidak menyebarkan berita keburukan saudara muslim yang lain
Jika berita keburukan saudara kita telah sampai kepada kita, hendaknyalah sebisa mungkin kita menahan diri untuk tidak turut andil dalam menyebarkan keburukan saudara muslim kita itu, kecuali dengan pertimbangan bahwa keburukan yang dilakukan oleh saudara kita dapat mengakibatkan keburukan bagi kaum yang lain.
Jika berita keburukan saudara kita telah sampai kepada kita, hendaknyalah sebisa mungkin kita menahan diri untuk tidak turut andil dalam menyebarkan keburukan saudara muslim kita itu, kecuali dengan pertimbangan bahwa keburukan yang dilakukan oleh saudara kita dapat mengakibatkan keburukan bagi kaum yang lain.
Kita
harus senantiasa menjaga lisan ini, untuk digunakan sesuai dengan yang Allah
ridhai, bukan malah menjadi alasan untuk lebih menjerumuskan kita kedalam
neraka, sebab Rasulullah SAW bersabda :
أكثر ما يدخل الناس النار الفم والفرج) رواه الترمذي وابن حبان في صحيحه
“Yang
paling banyak menjerumuskan manusia ke-dalam neraka adalah mulut dan kemaluan”
(H.R. Turmudzi dan dia berkata hadits ini shahih.)
(H.R. Turmudzi dan dia berkata hadits ini shahih.)
4.
Mengingatkan kesalahan dan membatunya
Manusia adalah makhluq Allah yang lemah yang Allah ciptakan bersama dengan Nafsu yang menyertainya. Jama’ah manusia bukanlah jama’ah Malaikat, yang diciptakan-Nya tanpa mempunyai nafsu dan terhindar dari kesalahan karena kepatuhan dan ketundukkannya kepada Allah SWT. Hingga suatu keniscayaan bahwa manusia akan melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam kehidupannya. Sudah menjadi tugas seorang muslim untuk saling mengingatkan kesalahan saudaranya dan membantunya untuk memperbaikinya. Saling mengisi kekurangannya, dan saling memperkuat kelebihannya. Akan indah kehidupan ini, jika kaum muslimin bisa hidup saling membantu dan memberi manfaat, bukan saling menyebarkan keburukan dan menjatuhkan.
Manusia adalah makhluq Allah yang lemah yang Allah ciptakan bersama dengan Nafsu yang menyertainya. Jama’ah manusia bukanlah jama’ah Malaikat, yang diciptakan-Nya tanpa mempunyai nafsu dan terhindar dari kesalahan karena kepatuhan dan ketundukkannya kepada Allah SWT. Hingga suatu keniscayaan bahwa manusia akan melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam kehidupannya. Sudah menjadi tugas seorang muslim untuk saling mengingatkan kesalahan saudaranya dan membantunya untuk memperbaikinya. Saling mengisi kekurangannya, dan saling memperkuat kelebihannya. Akan indah kehidupan ini, jika kaum muslimin bisa hidup saling membantu dan memberi manfaat, bukan saling menyebarkan keburukan dan menjatuhkan.
Rasulullah
saw bersabda : “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat kepada
manusia (lain)”. (Hadist Hasan, diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah ra).
5.
Mendo'akan bagi kebaikan saudara muslim lainnya
Akhirnya setelah kita mengetahui kejelasan berita secara akurat tentang saudara muslim kita lainnya, lalu kita bersabar dengan tidak menyebarkan keburukannya dan ikut andil dalam nasehat mengingatkan kesalahannya, maka hal terakhir yang bisa dilakukan oleh seorang mukmin adalah mendo’akan bagi kebaikannya.
Akhirnya setelah kita mengetahui kejelasan berita secara akurat tentang saudara muslim kita lainnya, lalu kita bersabar dengan tidak menyebarkan keburukannya dan ikut andil dalam nasehat mengingatkan kesalahannya, maka hal terakhir yang bisa dilakukan oleh seorang mukmin adalah mendo’akan bagi kebaikannya.
Mendo’akan
bagi kebaikan saudara muslim yang lain adalah salah satu bentuk kepedulian dan
kecintaan kita pada saudara kita dalam wujud amalan yang paling sederhana,
manakala kita tidak bisa ikut membantu menyelesaikan beban dan masalah yang
menimpanya, maka hendaknyalah dalam setiap sujud sholat kita, dalam setiap
keheningan malam munajat kita pada Sang Maha Kuasa, kita sertakan nama saudara
kita dalam untaian kata penuh harap kepada Sang Maha Penyayang. Kita do’akan
kebaikan saudara kita sebagaimana kita berdo’a untuk kebaikan kita diri kita
sendiri.
Rasulullah
Saw bersabda, “do’anya seorang saudara muslim untuk saudaranya muslim yang
lain tanpa sepengetahuannya adalah tidak ditolak”. (HR. Al Bazzar, dengan
sanad Shahih).
VIII.
KESIMPULAN
Ada beberapa
kesimpulan yang bisa kita ambil pelajaran dari surat al-Hujurat ayat 6 yaitu :
- Ayat diatas menunjukkan bahwa mengklarifikasi berita yang dibawa orang fasik adalah salah satu kesempurnaan keimanan.
- Allah memerintahkan kepada mukmin untuk selalu meneliti berita yang dibawa oleh orang fasik.
- Ayat ini menjadi dasar bahwa dilarang seorang ahli hadits untuk mengambil hadits yang diriwayatkan oleh orang fasik.
- Diperintahkan untuk meneliti setiap berita dari orang fasik, agar kita tidak merugikan atau menimpakan bahaya kepada orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Umm, Jilid VII, hal. 94. Lihat Ahkam al-Qur’an, Jilid II, hlm.
118-119, Lihat juga al-Umm, ditahqiq Dr. Abdul Muthalib, Jilid VIII
Ath-Thabari, Jâmi’
al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayy al-Qu’ân, Dâr al-Fikr, Beirut, 1405, juz XXVI
Asbabunnuzul, karya K.H.Q . Shaleh, H.A.A.Dahlan, dkk
Manaaqib asy-Syafi’iyy, karya
Baihaqi, Jilid I
Syaikh Ahmad Mustafa al-Farran,Tafsir Imam asy-Syafi’i (
Menyelami Kedalaman Kandungan Al-Qur’an ), ( Jakarta : PT. Niaga
Swadaya,2008)
Ath-Thabari, Ibid,
hlm. 124; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Syarikah an-Nûr, Asia
Al-Qurthûbi, al-Jâmi‘
li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr , juz XVI
As-Syawkâni, Fath
al-Qadîr, Dâr al-Fikr, Beirut, juz V
Rawwâs Qal’ah
Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Dâr an-Nafâis, Beirut.
As-Shâbûni, Shafwat
at-Tafâsîr, Dâr as-Shâbûni, Kairo, cet. IX
M. Quraish
Shihab dalam bukunya Secercah Cahaya Ilahi halaman
Budi Prasetyo (Abah Zacky) rahimahullah http://muslimdaily.net/opini/specialfeature/selektif-menerima-informasi-tafsir-surat-al-hujurat-ayat-6.html
[1]
Al-Umm, Jilid VII, hal. 94. Lihat Ahkam al-Qur’an, Jilid II, hlm.
118-119, Lihat juga al-Umm, ditahqiq Dr. Abdul Muthalib, Jilid VIII,
hal. 210-211
[2] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayy
al-Qu’ân, Dâr al-Fikr, Beirut, 1405, juz XXVI, hlm. 123-124.
[4]
Manaaqib asy-Syafi’iyy, karya Baihaqi, Jilid I, hlm. 142-143
[5]
Syaikh Ahmad Mustafa al-Farran,Tafsir
Imam asy-Syafi’i ( Menyelami Kedalaman Kandungan Al-Qur’an ), ( Jakarta :
PT. Niaga Swadaya,2008), ,Cet I, hlm.
407
[6] Ath-Thabari, Ibid, hlm. 124; Ibn Katsir,
Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Syarikah an-Nûr, Asia, juz IV, hlm. 210
[8]
As-Syawkâni, Fath al-Qadîr, Dâr al-Fikr,
Beirut, juz V, hlm. 60.
[9]
Rawwâs Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’,
Dâr an-Nafâis, Beirut, cet. I, 1996, hlm. 307 dan 315.
[10]
Lihat, As-Shâbûni, Shafwat at-Tafâsîr,
Dâr as-Shâbûni, Kairo, cet. IX, juz III, hlm. 231.
[12]
Asy-Shâbûni, Ibid, hlm. 233.
[14]
Budi Prasetyo (Abah Zacky) rahimahullah http://muslimdaily.net/opini/specialfeature/selektif-menerima-informasi-tafsir-surat-al-hujurat-ayat-6.html