Tersiar kabar dari pemerintahan Saudi Arabiyah menetapkan bahwa wukuf di Arofah untuk jamaah haji tahun ini jatuh pada hari jumat, tertanggal 3 oktober 2014, itu artinya pemerintah Saudi menetapkan hari itu sebagai tanggal 9 dzulhijjah.
Tentunya keputusan ini diambil setelah melalui prosesnya yang ma’lum, dengan terlebih dahulu sebelumnya melakukan rukyat hilal untuk menentukan tanggal 1 dzulhijjah. Hingga pada akhirnya menurut pemerintah Saudi 1 dzulhijjah itu jatuh pada hari kamis 25 september 2014.
Namun kabar berikutnya tersiar dari pemerintah kita setempat, melalui Kementrian Agama Republik Indonesia bahwa ternyata dari hasil rukyat yang dilakukan menetapkan bahwa 1 dzulhijjah itu jatuh pada hari jumat 26 sepetember 2014, itu artinya bahwa tanggal 9 dzulhijjah jatuh pada hari sabtu, dan ahadnya Idul Adha.
Perbedaan hasil rukyat kedua negara ini membuat ramai sebagian masyarakat Indonesia khususnya. Mungkin ada yang bingung, terutama dalam menentukan kapan kita yang di Indonesia ini melakukan puasa sunnah Arofah? Untuk seterusnya juga membingungkan, kapan kita berlebaran? Ikut pemerintah Saudi atau Indonesia?
Hari Arofah dan Puasa Arofah
Hari Arofah adalah hari dimana semua jamaah haji melakukan puncak ritual haji dengan melakukan wukuf di Arofah, inilah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW bahwa “Al-Hajju Arofah”; Haji itu Arofah. Dan hari Arafah itu bertepatan dengan tanggal 9 dzulhijjah.
Jadi wukuf di Arofah itu harus bertepatan dengan dua hal; waktu dan tempat. Waktunya pada tangal 9 dzulhijjah, dan tempatnya adalah di Arofah.
Sedangkan puasa Arofah adalah puasa sunnah yang dilakukan oleh mereka yang tidak sedang melaksanakan wukuf dimana waktunya bertepatan dengan tanggal 9 dzulhijjah, waktu dimana mereka yang sedang menunaikan ibadah haji melaksanakan wukuf di Arofah.
Jadi ada titik temu antara dua jenis ibadah ini (wukuf dan puasa) yaitu waktunya bertepatan dengan tanggal 9 dzulhijjah. Dan yang perlu diketahui bahwa dua ibadah ini tidak saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Dimana ibadah wukuf akan tetap sah walaupun orang-orang diluar Mekkah sana tidak sedang melaksanakan ibadah puasa, dan sebaliknya ibadah puasa sunnah tanggal 9 itu tetap sah walaupun orang yang sedang berhaji itu tidak wukuf.
Karena sangat mungkin bahwa mereka yang berhaji itu berhalangan untuk wukuf, karena dihadang musuh misalnya, bencana alam, atau kendala lainnya, atau mereka wukuf tapi waktunya salah, atau mereka wukuf pada waktunya tapi tempatnya salah, dst..
Jadi sekali lagi bahwa puasa Arofah bukan karena mereka wukuf, tapi puasa itu dilakuakan karena ia beretepan dengan tanggal 9 dzulhijjah. Pun begitu sebaliknya, wukuf itu dilakuakn bukan karena orang diluar sana puasa, tapi karena ia bertepatan dengan tanggal 9 dzulhijjah. Karena standar ibadah kita adalah waktu.
Disebut hari Arofah untuk mengingatkan jamaah haji akan pentingnya hari ini, karena hari ini adalah intinya haji, dimana mereka diwajibkan untuk wukuf di Arofah, selebihnya maka sebenarnya hari ini bisa disebut dengan hari sembilan, dan puasa sunnah itu juga bisa disebut dengan puasa hari sembilan.
Menentukan Tanggal 9 Dzulhijjah
Disinilah letak permasalahannya, yaitu pada cara kita menentukan kapan jatuhnya tanggal 9 dzulhijjah. Dan semua ulama menyepakati bahwa standar perhitungan ibadah ini adalah peredaran bulan.
Maka cara menentukannya sudah pasti dengan terlebih dahulu mengetahui kapan jatuhnya tanggal 1 dzulhijjah. Maka dalam hal ini kita akan kembali diingatkan dengan bagaimana cara penentuan 1 Ramadhan, caranya sama persis, dan perbedaan ulama dalam hal ini juga sama persis.
Penentuannya bisa dengan metode rukyat ataupun hisab; hisab wujud al-Hilal atau juga Hisab Imkan ar-Ru’yah, atau gabungan dari keduanya. Hingga akhirnya kita akan menemukan perbedaan ulama pada masalah rukyat lokal atau Internasional; apakah setiap masyarakat harus mengikuti hasil perhitungan lokal, atau boleh juga mengikuti hasil dari negara Islam lainnya? Yang dalam bahasa fikihnya dikenal dengan sebutan wihdah al-Mathali’ wa ikhtilaf al-mathali’.
Setiap Negri Boleh Memutuskan Sendiri
Lebih kurang ini adalah hasil dari perbedapatan ulama dalam masalah penentuan awal bulan baru, kita tidak boleh menafikan bahwa banyak juga para ulama yang meyakini bahwa setiap negri boleh untuk memutuskan sendiri waktu ibadah mereka, tentunya ketupusan ini bukan dengan semua gue, tetap harus melalui metode yang benar.
Hal ini disandarkan dengan hadits Kuraib yang sudah masyhur ditelinga kita, diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa:
أن أم الفضل بنت الحارث بعثته في حاجة إلى معاوية بالشام، قال: فقدمت الشام فقضيت حاجتها واستهل علي رمضان وأنا بالشام، فرأيت الهلال ليلة الجمعة، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر فسألني عبد الله بن عباس ثم ذكر الهلال، فقال: متى رأيتم الهلال؟ فقلت: رأيناه يوم الجمعة، فقال: أنت رأيته؟ فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا وصام معاوية فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه، فقلت: فلا تكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Bahwa Ummu Fadhl bintu al-Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan. Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku
“Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas.
“kami melihatnya malam jumat.” Jawab Kuraib.
“Kamu melihatnya sendiri?” tanya Ibnu Abbas.
“Ya, saya melihatnya dan masyarakatpun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyahpun puasa.” Jawab Kuraib.
Ibnu Abbas menjelaskan:
لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه
“Kalau kami melihatnya malam sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”
Kuraib bertanya lagi,
“Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”
Jawab Ibnu Abbas,
لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Tidak, seperti ini yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim 2580)
Dari cerita Kuraib diatas bisa kita ambil beberapa pelajaran, bahwa walaupun pada waktu itu ummat Islam masih berada dalam satu kepemimpinan (khilafah) namun memungkin bagi Ibnu Abbas untuk berbeda dengan keptusan kholifah, dan tidak terdengar bahwa Ibnu Abbas adalah bagian dari mereka yang ‘membangkang’ dari kepemimpinan Muawiyah.
Padahal dalam waktu yang bersamaan seorang Kuraib ini adalah Tabiin yang sholih, beliau mengabarkan kesaksiannya sudah melihat bulan dan dikabarkan juga keapda Ibnu Abbas bahwa masyarakat lainnya juga sudah melihat bulan, tapi justru ibnu Abbas menegaskan untuk memutuskan sendiri dengan menyandarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah SAW yang beliau bacakan.
Jadi jika kita tarik ke zaman sekarang maka sebagaimana pemerintah Saudi Arabiyah boleh memutuskan sendiri perihal puasa, Idul Fitri dan Idul Adha, maka hal sama bahwa pemerintah Indonesia juga boleh untuk menetapkan sendiri waktu puasa, Idul Fitri dan Idul Adhanya.
Mau Ikut Saudi Arabiyah?
Memang ada pendapat lainnya yang mejelaskan kebolehan untuk megambil satu kesaksian dengan alasan wihdah al-Mathali’, namun perlu diketahui juga bahwa yang dimaksud dengan satu kesaksian bukanlah milik orang Saudi saja, karenannya memungkin bagi kita juga untuk mengambil keputusan negri tetangga lainnya, walaupun bukan Saudi.
Sebagaimana kita boleh mengikuti Saudi, namun hal yang sama juga sebenarnya orang Saudi boleh mengikuti keputusan negri kita, jika saja dalam keputusannya kemarin kita yang terlebih dahulu memberikan hasil keputusan.
Namun ternyata justru ada salah seorang ulama terkemuka Saudi sendiri malah meyarankan kepada kita untuk tetap mengikuti hasil keputusan lokal, dan tidak harus mengikuti keputusan Saudi.
Syaikh Ibnu Utsaimin mengemukan dalam fatwanya:
والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع ، فمثلا إذا كان الهلال قد رؤي بمكة ، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع ، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد ، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم ، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة ، هذا هو القول الراجح ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول ( إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا(
“Dan yang benar itu dalah sesuai perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal). Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Mekah, dan hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negeri lain, hilal terlihat sehari sebelum Mekah, sehingga hari wukuf arafah menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu adalah hari raya bagi mereka.
Demikian pula sebaliknya, ketika di Mekah hilal terlihat lebih awal dari pada negara lain, sehingga tanggal 9 di Mekah, posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di Mekah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
“Apabila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan apabila melihat hilal lagi (hari raya), maka berbukalah” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin)
Jadi Kesimpulannya?
Kesimpulannya bahwa perkara ini sangat longgar, bahwa tidak ada yang salah dengan pemerintah kita yang sudah bersusah payah melakuakan usaha dalam penentuan awal dzulhijjah, walaupun pada akhirnya terdapat perbedaan antara hasil yang diputuskan dengan apa yang diputuskan oleh pemerintah Saudi Arabiyah.
Untuk mereka yang sekarang berada di Saudi Arabiyah, dari manapun asalnya, maka mereka terikat dengan waktu Saudi dalam hal apa saja; Sholat, puasa, berbuka, wukuf, dan idul adha, namun untuk mereka yang berada di luar Saudi, mereka juga baiknya mengikut penjadwalan waktu setempat. Walaupun khusus untuk perkara puasa ramadhan, puasa 9 dzulhijjah dan dua lebaran boleh-boleh saja mengkuti keputusan Saudi.
Rumah fiqih indonesia : S. Mahadir. Lc. MA