TAFSIR SURAT AL QADR
Oleh
Ustadz Arief B bin Usman Rozali
بسم الله الرحمن الرحيم
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا
لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3}
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ
أَمْرٍ {4} سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ {5}
1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur`an) pada malam kemuliaan.[1]
2. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
3. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan.
5. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
Sebagian besar ulama tafsir [2] berpendapat, surat Al Qadr adalah
Makkiyah (yang diturunkan sebelum hijrah). Adapun penamaan surat ini
dengan Al Qadr, karena surat ini menerangkan keutamaan dan tingginya
kedudukan Al Qur`an, yang juga diturunkan pada malam yang sangat mulia.
Dan dinamakan Lailatul Qadr, karena kedudukannya yang begitu agung dan
mulia di sisi Allah [3]. Oleh karenanya malam itu penuh dengan
keberkahan. Allah berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ
(Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi) [4].
Ibnu Katsir berkata,”(Malam yang diberkahi) itulah Lailatul Qadr, (yang
terjadi) pada bulan Ramadhan, sebagaiman firman Allah Ta’ala
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
(Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an) [5].
Ibnu Abbas dan yang lainnya berkata: "Allah telah menurunkan Al Qur`an
dari Lauh Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah (di langit dunia) secara langsung
(sekaligus), kemudian menurunkannya kepada Rasulullah secara
berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa-peristiwa (yang terjadi semasa
hidupnya) selama dua puluh tiga tahun" [6].
Adapun yang berkenaan dengan asbabun nuzul (sebab turunnya) surat ini,
maka tidak ada satupun riwayat shahihah yang bisa dijadikan hujjah
ataupun dalil [7].
At Tirmidzi pernah menyebutkan sebuah hadits yang masih erat kaitannya
dengan sebab turunnya surat ini. Sengaja kami bawakan untuk menghapus
persepsi buruk sebagian kaum muslimin [8] terhadap sejarah pemerintahan
Bani Umayah. Apabila keyakinan semacam ini dibiarkan, maka akan
mengakibatkan cacatnya aqidah dan manhaj kaum Muslimin, karena
mengandung celaan terhadap salah satu sahabat Rasulullah yang mulia,
yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan masa pemerintahan Bani Umayah secara
umum.
Di dalam Jami’nya [9], At Tirmidzi menyebutkan sebuah riwayat lemah
dengan sanadnya dari Al Qasim bin Fadhl Al Huddani, dari Yusuf bin
Sa’ad, ia berkata: “Seseorang berdiri menuju Al Hasan bin Ali setelah
beliau membai’at Mu’awiyah, lalu berkata,’Engkau telah menghitamkan
wajah-wajah kaum Mukminin’ atau ‘Wahai orang yang menghitamkan
wajah-wajah kaum Mukminin!’, berkata (Al Hasan bin Ali): ‘Janganlah
mencelaku rahimakallah. Sesungguhnya Nabi pernah diperlihatkan (keadaan)
Bani Umayah di mimbarnya, dan hal itu membuatnya tidak senang, maka
turunlah
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
(Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak), Wahai
Muhammad, yaitu sebuah sungai di Surga, dan (juga) turun:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا
لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3
(masa) yang akan dikuasai Bani Umayah sepeninggalmu wahai Muhammad".
Al Qasim berkata: “Maka kami hitung (masa khilafah Bani Umayah), dan
(memang) tepat seribu bulan, tidak lebih atau kurang seharipun”.
Ibnu Katsir mengomentari hadits ini [10] dan berkata: Dan Al Hakim, di
dalam kitab Al Mustadrak-nya [11] meriwayatkan hadits ini dari jalan Al
Qasim bin Fadhl dari Yusuf bin Mazin,… Dan Ath Thabari[12] meriwayatkan
dari jalan Al Qasim bin Fadhl dari ‘Isa bin Mazin [13] , demikian
katanya, dan hal ini mengakibatkan hadits ini menjadi mudhtharib [14] ,
wallahu a’lam. Maka hadits ini munkarun jiddan (sangat mungkar),
(sehingga) Syaikh kami, Al Imam Al Hafizh Al Hujjah Abul Hajjaj Al Mizzi
berkata: “Ini hadits munkar”.[15]
Ibnu Katsir berkata: “Perkataan Al Qasim bin Fadhl Al Huddani bahwa ia
telah menghitung masa kekuasaan Bani Umayah, lalu katanya ia dapatkan
tepat seribu bulan tidak lebih dan tidak kurang seharipun, adalah tidak
benar. Karena sesungguhnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu 'anhu
sudah berkuasa ketika Al Hasan bin Ali menyerahkan kuasa (dengan
membai’atnya) pada tahun 40 H, dan seluruh kaum Muslimin membai’atnya
pula, sehingga tahun itu dinamakan ‘Amul Jama’ah (tahun jamaah).
Adapun kaum Muslimin di Syam dan tempat lainnya, (mereka) tetap berada
di bawah naungan khilafah Bani Umayah. Tidak ada yang keluar (dari
kekuasaan Bani Umayah), kecuali pada masa Abdullah bin Az Zubair
berkuasa di Haramain dan Al Ahwaz dan sebagian wilayah di sekitarnya,
selama kurang lebih sembilan tahun. Akan tetapi, pemerintahan Abdullah
bin Az Zubair masih tetap di bawah khilafah Bani Umayah, sampai akhirnya
datang peristiwa perebutan khilafah Bani Al Abbas pada tahun 132 H.
Dengan demikian, masa kekhilafahan Bani Umayah ialah sembilan puluh dua
tahun, yang berarti melebihi seribu bulan, karena seribu bulan sama
dengan delapan puluh tiga tahun empat bulan.
(Demikianlah) seolah-olah Al Qasim bin Fadhl tidak menganggap
penghitungan bilangan tahun kekuasaan Abdullah bin Az Zubair, sehingga
apabila memang demikian, maka apa yang dikatakannya adalah benar.
Wallahu a’lam.
Dan di antara hal-hal yang menunjukkan dha’ifnya hadits ini ialah,
hadits ini dibawakan untuk melakukan celaan terhadap Daulah Bani Umayah.
Jika yang dimaksud seperti itu, maka tentu tidak (perlu) dibawakan
dengan konteks semacam ini! Karena sesungguhnya, mengutamakan Lailatul
Qadr di atas masa kekuasaan Bani Umayah, (sama sekali) tidak menunjukkan
adanya pencelaan terhadap masa kekuasaan mereka. Karena sesungguhnya,
(sebagaimana sudah kita ketahui dari penjelasan di atas, Pen), Lailatul
Qadr adalah malam yang sangat mulia. Dan surat yang mulia ini diturunkan
dalam konteks memuliakan Lailatul Qadr. Maka bagaimana (mungkin bisa
difahami) Lailatul Qadr dimuliakan dengan pengutamaannya di atas masa
khilafah Bani Umayah yang tercela sebagaimana kandungan hadits tersebut?
Kemudian, adakah orang yang memahami, bahwa yang dimaksud dengan seribu
bulan dalam ayat ini adalah masa khilafah Bani Umayah? Sedangkan surat
ini adalah Makkiyah? Bagaimana (mungkin) makna alfi syahrin (seribu
bulan) dipalingkan kepada masa khilafah Bani Umayah? Sedangkan lafazh
ayat maupun maknanya, (sama sekali) tidak menunjukkan hal itu?! Lagi
pula, mimbar Rasulullah (yang tercantum dalam hadits ini) baru dibuat di
Madinah, (yaitu) setelah beberapa saat dari hijrahnya. Maka (jelaslah
sudah), semuanya ini sebagai dalil (dan bukti) dha’if dan munkarnya
hadits ini. Wallahu a’lam.” [16]
Pada ayat berikutnya Allah berfirman:
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
(Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?).
Muhammad Amin Asy Syinqithi berkata [17] : “Pengulangan pertanyaan ini adalah sebagai pengagungan, seperti (juga) firman Allah:
الْقَارِعَةُ {1} مَا الْقَارِعَةُ {2} وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ {3
1) Hari Kiamat. (2) Apakah Hari Kiamat itu? (3) Tahukah kamu apakah Hari Kiamat itu? [18]
Kemudian Allah berfirman:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
(Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan).
Ada sejumlah hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat ini, di antaranya ialah:
عن أبي هريرة قال: لمَـَّا حَضَرَ رَمَضَانُ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ, شَهْرٌ مُبَارَكٌ,
اِفْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ, تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ
الْجَنَّةِ, وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ, وَتُغَلُّ فِيْهِ
الشَّيَاطِيْنُ, فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ, مَنْ حُرِمَ
خَيْرُهَا فَقَدْ حُرِمَ)).
"Dari Abu Hurairah, ia berkata: Tatkala tiba bulan Ramadhan, Rasulullah
bersabda: “Telah datang pada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi.
Allah memerintahkan kalian untuk berpuasa padanya. Pada bulan itu,
pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka Jahim ditutup, dan
setan-setan diikat. Pada bulan itu terdapat Lailatul Qadr. Barangsiapa
yang terhalang dari kemuliaan (keutamaannya), sungguh dia telah
terhalang”.[19]
Ath Thabari dan Ibnu Katsir berkata [20]: Sufyan Ats Tsauri berkata:
“Telah sampai kepadaku perkataan Mujahid لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ
أَلْفِ شَهْرٍ , ia berkata,’Amalan, puasa, dan shalat pada malam itu
(Lailatul Qadr) lebih baik dari seribu bulan (seseorang melakukan
ibadah, Pen)’.”
Adapun maksud para ulama tafsir, bahwa ibadah pada malam Lailatul Qadr
lebih utama dari ibadah selama seribu bulan, yaitu (seribu bulan) yang
di dalamnya tidak terdapat Lailatul Qadr.[21]
Syaikh Al Albani berkata: “Dan di antara masa, ada yang telah Allah
jadikan seluruh amalan baik padanya lebih utama (dari waktu-waktu
selainnya), seperti pada sepuluh Dzulhijjah dan malam Lailatul Qadr yang
lebih baik dari seribu bulan, yaitu seluruh amalan pada malam itu lebih
utama (baik) dari amalan selama seribu bulan tanpa Lailatul Qadr di
dalamnya”.[22]
Kemudian pada ayat berikutnya Allah berfirman:
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ
(Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan idzin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan).
Sebagian besar ulama menafsirkan (الرُّوحُ) adalah Jibril, dan sebagian
yang lain menafsirkan dengan jenis malaikat lainnya [23].
Dan firman Allah بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ , maksudnya ialah,
mereka (para malaikat) turun dengan idzin Rabb mereka, dengan segala
sesuatu yang telah Allah tentukan pada tahun itu, dari masalah rezeki,
ajal, dan perkara lainnya. [24]
Lalu di akhir surat Al Qadr ini, Allah berfirman:
سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
(Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar).
Maksudnya ialah, pada malam Lailatu Qadr penuh dengan kebaikan dan
keberkahan seluruhnya, selamat dari segala kejahatan dan keburukan
apapun, setan-setan tidak mampu berbuat kerusakan dan kejahatan sampai
terbit fajar di pagi harinya.
Demikian ini adalah perkataan sebagian besar ulama, seperti Mujahid,
Nafi’, Qatadah, Ibnu Zaid, Abdurrahman bin Abi Laila, dan lain-lainnya
[25]. Adapun menurut Asy Sya’bi, dia berpendapat, pada malam itu para
malaikat memberikan ucapan salam kepada para penghuni masjid-masjid
(yang beribadah di dalamnya) sampai terbit fajar [26].
APAKAH LAILATUL QADR MERUPAKAN SALAH SATU KEKHUSUSAN UMAT ISLAM, ATAUKAH JUGA TERDAPAT PADA UMAT UMAT SEBELUMNYA?
As Suyuthi membawakan hadits yang dikeluarkan oleh Ad Dailami [27], dari Anas, beliau berkata:
إِنَّ اللهَ وَهَبَ لأُمَّتِيْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ, وَلَمْ يُعْطِهَا مَنْ كَانَ قَبْلَهُمْ.
"Sesungguhnya Allah memberikan Lailatul Qadr untuk umatku, dan tidak memberikannya untuk (umat-umat) sebelumnya".
Akan tetapi hadits ini maudhu`[28] , sehingga tidak bisa dijadikan hujjah atau sandaran.
Al Khathabi menyatakan adanya ijma’ para ulama, bahwa Lailatul Qadr juga
terdapat pada umat-umat sebelum umat Islam [29]. Ibnu Katsir dan As
Suyuthi, di dalam tafsir mereka [30] membawakan hadits yang dikeluarkan
oleh Imam Malik di Muwatha’nya [31] yang berkata:
إنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أُرِيَ أَعْمَارَ النَّاسِ
قَبْلَهُ أَوْ ما شاءَ اللهُ مِنْ ذَلِكَ فَكَأَنَّهُ تَقَاصَرَ أعمارُ
أُمَّتِهِ أَنْ لاَ يَبْلُغُوْا مِنَ الْعَمَلِ مِثْلَ الَّذِيْ بَلَغَ
غَيْرُهُمْ فِيْ طُوْلِ الْعُمْرِ, فَأَعْطَاهُ اللهُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ
خَيْرًا مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
"(Sesungguhnya Rasulullah diperlihatkan umur-umur manusia sebelumnya
-yang relatif panjang- sesuai dengan kehendak Allah, sampai (akhirnya)
usia-usia umatnya semakin pendek (sehingga) mereka tidak bisa beramal
lebih lama sebagaimana umat-umat sebelum mereka beramal karena
panjangnya usia mereka, maka Allah memberikan Rasulullah Lailatul Qadr
yang lebih baik dari seribu bulan)". [32]
Lalu Ibnu Katsir mengomentari hadits ini dan berkata: “Yang diisyaratkan
hadits ini ialah adanya Lailatul Qadr pada umat-umat terdahulu sebelum
umat Islam”. Beliau juga membawakan hadits lain, yaitu dengan menukil
riwayat Imam Ahmad di dalam Musnad-nya [33], dari Abu Dzar yang berkata:
يَا رَسُوْلَ الله, أخْبِرْنِي عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ, أفِي رَمَضَانَ
هِيَ أَوْ فِيْ غَيْرِهِ؟ قَالَ: بَلْ هِيَ فِي رَمَضَانَ, قُلْتُ:
تَكُوْنُ مَعَ الأنْبِياَءِ ماَكَانُوْا, فَإذَا قُبِضُوْا رُفِعَتْ؟ أمْ
هِيَ إلىَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ؟ قاَلَ: بَلْ هِيَ إلىَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
…
"Wahai Rasulullah, beritahu aku tentang Lailatul Qadr, apakah malam itu
pada bulan Ramadhan ataukah pada selainnya?” Beliau berkata: “Pada bulan
Ramadhan”. (Abu Dzar) berkata,”(Berarti sudah ada) bersama para nabi
terdahulu? Lalu apakah setelah mereka wafat (malam Lailatul Qadr
tersebut) diangkat? Ataukah malam tersebut akan tetap ada sampai hari
Kiamat?” Nabi menjawab: “Akan tetap ada sampai hari kiamat…"
Kemudian Ibnu Katsir berkata: "Pada hadits ini spun ada isyarat seperti
yang telah kami sebutkan (pada hadits pertama), bahwa Lailatul Qadr akan
tetap terus berlangsung sampai hari Kiamat pada setiap tahunnya. Tidak
seperti apa yang dikatakan oleh sebagian kaum Syi’ah bahwa Lailatul Qadr
sudah diangkat (tidak akan terjadi lagi), disebabkan (mereka salah)
memahami hadits yang akan kami bawakan sebentar lagi [34]. Karena,
maksud (hadits) yang sesungguhnya ialah, diangkatnya pengetahuan saat
terjadinya malam Lailatul Qadr [35]. Juga ada isyarat, bahwa Lailatul
Qadr khusus terjadi pada bulan Ramadhan saja dan tidak terjadi pada
bulan-bulan lainnya." [36]
Pendapat inilah (bahwa Lailatul Qadr terdapat juga pada umat-umat
sebelum umat Islam) yang didukung kuat oleh Ibnu Katsir di dalam kitab
tafsirnya [37], karena banyaknya hadits-hadits yang menunjukkan hal itu.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07-08/Tahun IX/1426/2005M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Malam kemuliaan, dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam
Lailatul Qadr. Yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, karena
pada malam itu permulaan turunnya Al Qur`an. (Lihat Al Qur`an dan
terjemahnya).
[2]. Seperti Ibnu Jarir Ath Thabari (Tafsir Ath Thobari, 30/312), Ibnu
Katsir (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/441), As Suyuthi (Ad Durr Al
Mantsur, 8/567), As Sa’di (Taisir Al Karim Ar Rahman, 2/1184), dan yang
lain-lainnya. Adapun Al Qurthubi, beliau berpendapat bahwa Surat Al Qadr
adalah Madaniyah (Lihat Al Jami’ Li Ahkami Al Qur`an, 20/120).
[3]. Taisir Al Karim Ar Rahman, 2/1184 dengan ringkas. Dan Al Qurthubi
telah membawakan beberapa perkataan ulama yang berkaitan dengan sebab
penamaan malam itu dengan Lailatul Qadr. (Lihat Al Jami’ Li Ahkami Al
Qur`an, 20/120-121). Demikian pula Asy Syinqithi (Lihat Adhwa’ Al Bayan,
9/34).
[4]. Ad Dukhan ayat 3.
[5]. Al Baqarah ayat 185.
[6]. Tafsir Al Qur`an Al ‘Azhim ((8/441).
[7]. Ath Thabari di dalam tafsirnya (30/314) membawakan atsar Mujahid
yang mursal (yang tidak ada atau tidak diketahui perawinya antara dia
dan Rasulullah), dari Al Mutsanna bin Ash Shabbaah, dari Mujahid, yang
maknanya: “Konon ada seorang dari Bani Israil yang melalukan Qiyamul
Lail (shalat malam) hingga pagi, kemudian berjihad di siang harinya
hingga sore hari, dan (dia) melakukan hal itu selama seribu bulan, maka
Allah menurunkan ayat: إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ,
(maka) menghidupkan malam (Lailatul Qadr) itu (dengan ibadah) lebih baik
dari amalan seorang tersebut”.
Abdurrazzaq Al Mahdi (muhaqqiq kitab Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an, 20/122) berkata (yang artinya): “Khabar ini wahin (lemah)”.
Hal yang serupa juga telah dibawakan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya
(8/442) dengan sedikit perbedaan lafazh, yang maknanya: “Nabi telah
menyebutkan seorang dari Bani Israil yang (selalu) mengenakan
persenjataan untuk berjihad di jalan Allah selama seribu bulan”, berkata
(Mujahid): “Maka kaum Muslimin (para sahabat) terheran-heran kagum dari
hal itu, maka Allahpun menurunkan:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا
لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3
Satu malam (yang sama dengan) amalan orang yang (selalu) mengenakan
persenjataan untuk berjihad di jalan Allah selama seribu bulan
tersebut”.
Sami` bin Muhammad As Salamah (muhaqqiq kitab Tafsir Al Qur`an Al
‘Azhim, 8/443) berkata: “Dan (juga) diriwayatkan oleh Ats Tsa’labi di
dalam tafsirnya, dan Al Wahidi di dalam Asbabun Nuzul sebagaimana di
dalam Takhrij Al Kasyaf oleh Az Zaila’i (4/253), dari jalan Muslim bin
Khalid, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid secara mursal”.
Demikian pula atsar yang telah dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam
tafsirnya (10/3452) dan Al Qurtubi di dalam tafsirnya (20/122) dan Ibnu
Katsir di dalam tafsirnya (8/443) dan As Suyuthi di dalam tafsirnya (Ad
Durr Al Mantsur, 8/568) dari jalan Maslamah bin ‘Ulay, dari Ali bin
‘Urwah secara mursal, yang maknanya: “Rasulullah (pada suatu hari)
menyebutkan empat orang dari Bani Israil yang beribadah kepada Allah
selama delapan puluh tahun, tidak pernah bermaksiat sedikitpun. Mereka
adalah Ayyub, Zakariya, Hizqil bin Al ‘Ajuz dan Yusya’ bin Nun”. Ali bin
‘Urwah berkata: “Maka para sahabat Rasulullah terheran-heran kagum
dengan hal itu, hingga Jibrilpun mendatanginya seraya berkata,’Umatmu
telah terheran-heran kagum dengan ibadah mereka selama delapan puluh
tahun. Mereka tidak pernah bermaksiat sedikitpun. Sungguh Allah telah
menurunkan sesuatu yang lebih baik dari itu’. Lantas Jibrilpun
membacakan kepadanya:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا
لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3}
Ini (Lailatul Qadr) lebih baik dari apa yang membuatmu dan umatmu
terheran-heran kagum”. Maka bergembiralah Rasulullah dan para
sahabatnya.
Abdurrazzaq Al Mahdi (muhaqqiq kitab Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an, 20/122)
berkata mengomentari atsar ini (yang artinya): “Dha’ifun jiddan (lemah
sekali)…, dari jalan Maslamah bin ‘Ulay dari Ali bin ‘Urwah secara
mursal. Dan bersamaan dengan itu, Maslamah bin ‘Ulay adalah (perawi)
matruk (yang ditinggalkan haditsnya). Dia adalah Al Khusyani. Demikian
pula syaikhnya (Ali bin ‘Urwah) adalah matruk. Maka khabar ini lemah
sekali, tidak bisa dijadikan hujjah. (Penghukuman) yang lebih tepat
(terhadap) khabar ini adalah israiliyaat (khabar tentang Bani Israil
yang tanpa dasar)”. Lihat pula biografi Maslamah bin ‘Ulay Al Khusyani
dan syaikhnya Ali bin ‘Urwah di dalam Taqrib At Tahdzib (hlm. 701 &
943), karangan Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.
[8]. Yang terkontaminasi dengan sebagian aqidah Syi’ah atau Rafidhah
yang membenci Mu’awiyah bin Abi Sufyan, atau bahkan membenci Bani Umayah
secara umum. Wallahul musta’an.
[9]. Jami’ At Tirmidzi (5/445 no.3350).
[10]. Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/441-442). Al Albani menghukumi hadits
ini: “Sanadnya dha’if, mudhtharib, dan matannya munkar”. (Lihat Dhaif
Sunan Tirmidzi).
[11]. Al Mustadrak ‘Ala Ash Shahihain (3/186 no.4796).
[12]. Tafsir Ath Thabari (30/314).
[13]. Abdurrazzaq Al Mahdi (muhaqqiq kitab Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an,
20/123) berkata: “Ini (penamaan ‘Isa bin Mazin) adalah tashif (kesalahan
dalam penamaan)”.
[14]. Hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dari jalan yang
banyak yang sama kuatnya, sehingga tidak mungkin untuk digabungkan atau
ditarjih. (Lihat Taisir Mushthalah Al Hadits, hlm. 112). Dan hadits
mudhtharib salah satu hadits yang dha’if (lemah).
[15]. Hadits munkar ialah, hadits yang di dalam sanadnya terdapat
seorang perawi yang fasiq, buruk hafalannya, dan banyak lalainya. Atau
hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dha’if, dan dia menyelisihi
riwayat perawi tsiqah (kuat). (Lihat Taisir Mushthalah Al Hadits, hlm.
95).
[16]. Lihat pula Al Bidayah wa An Nihayah (6/243-244). Ibnu Katsir juga membicarakan hadits ini secara panjang lebar.
[17]. Di dalam kitab tafsirnya, Adhwa’ Al Bayan (9/34).
[18]. Al Qari’ah ayat 1-3.
[19]. HR An Nasa-i (4/129), Ahmad (2/230,385 & 425).Hadits ini
dishahihkan Al Albani di dalam Shahih Al Jami’ (no.55), Shahih Sunan An
Nasa-i, Shahih At Targhib Wa At Tarhib (1/ ), Tamam Al Minnah (hlm.395).
[20]. Tafsir Ath Thabari (30/314) dan Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/443).
[21]. Lihat Tafsir Ath Thabari (30/314-315), Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an
(20/121), Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/443), Ad Durr Al Mantsur (8/568),
dan Taisir Al Karim Ar Rahman (2/1185).
[22]. Ats Tsamru Al Mustathab (2/576).
[23]. Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Tafsir Al Qur`an Al Azhim
(8/444), Ad Durr Al Mantsur (8/569), Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an
(20/123-124). Al Qurthubi juga membawakan beberapa penafsiran ulama
lainnya. Di antara mereka ada yang menafsirkan dengan bala tentara Allah
yang bukan malaikat, ada pula yang menafsirkan dengan makhluk besar,
dan ada pula yang menafsirkan dengan rahmat yang turun bersama Jibril.
Wallahu a’lam.
[24]. Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an
(20/124), dan Al Qurthubi berkata, bahwa ini adalah perkataan Ibnu
Abbas.
[25]. Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an
(20/1َ24), dan Al Qurthubi berkata, bahwa ini adalah perkataan Ibnu
Abbas.
[26]. Lihat Tafsir Ath Thabari (30/315), Al Jami’ Li Ahkamil Qur`an
(20/124), Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/444), Ad Durr Al Mantsur (8/568),
dan Taisir Al Karim Ar Rahman (2/1185).
[27]. Di dalam kitabnya, Al Firdaus Bi Ma’tsur Al Khithab (1/173, no.647).
[28]. Syaikh Al Albani berkata,”Maudhu’.” Lihat Dha’if Al Jami’, no.
1669 dan Silsilah Adh Dha’ifah, Jilid 7. Hadits maudhu’ adalah hadits
yang palsu, dusta, dan dibuat-buat yang disandarkan kepada Nabi. (Lihat
Taisir Mushthalah Al Hadits, hlm. 89).
[29]. Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/446).
[30]. Tafsir Al Qur`an Al Azhim (8/445), Ad Durr Al Mantsur (8/568).
[31]. Al Muwatha` (1/321).
[32]. Akan tetapi Syaikh Al Albani menghukumi hadits ini dan berkata:
“Dha’ifun mu’dhal (lemah dan terputus sanadnya dengan jatuhnya dua
perawa hadits secara berurutan)”. Lihat Dha’if At Targhib Wa At Tarhib.
[33]. Musnad Imam Ahmad (5/171). Juga terdapat dalam Shahih Ibnu Hibban
(8/438 no.3683), Shahih Ibnu Khuzaimah (3/320-321 no.2169-2170), Al
Mustadrak (1/603 no.1596), Sunan Al Baihaqi (4/307 no.8308), Musnad Al
Bazzar (9/456 no.4067-4068) dan yang lain-lainnya.
[34]. Lihat Tafsir Al Qur`an Al ‘Azhim (8/446). Adapun hadits yang akan
beliau bawakan, yang kaum Syi’ah salah dalam memahaminya, yaitu hadits
yang dikeluarkan Al Bukhari dalam Shahih-nya (2/711 no.1919 & 5/2248
no.5705) dari Ubadah bin Shamit berkata:
خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَنَا
بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ, فَتَلاَحَى رَجُلاَنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ,
فَقَاَلَ: خَرَجْتُ لأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلاَحَى فُلاَنٌ
وَفُلاَنٌ؟ فَرُفِعَتْ, وَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْراً لَكُمْ,
فَالْتَمِسُوْهَا فِيْ التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
Rasulullah keluar untuk memberitahu kami (kapan terjadinya) Lailatul
Qadr, tiba-tiba ada dua orang dari muslimin saling mencela (berselisih),
beliaupun bersabda: “Aku keluar untuk mengabarkan kepada kalian (kapan)
Lailatul Qadr, lalu si Fulan dan Fulan berselisih? Sudah diangkat, dan
mudah-mudahan hal itu lebih baik untuk kalian, maka carilah pada ke
sembilan, ke tujuh, dan ke lima (dari sepuluh malam terakhir bulan
Ramadhan)”.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya (8/450-451) berkata: “Dan maksud dari
(فَرُفِعَتْ) adalah diangkatnya ilmu (untuk para sahabat) akan kapan
terjadinya Lailatul Qadr itu. Bukan diangkatnya Lailatul Qadr secara
keseluruhan (sehingga tidak ada wujudnya lagi) -sebagaimana yang
dikatakan oleh orang-orang bodoh dari kaum Syi’ah- karena Rasulullah
bersabda setelahnya: “Maka carilah pada ke sembilan, ke tujuh, dan ke
lima (dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan)”.”
Demikian juga yang telah dinukilkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar di kitab
Fathul Bari (4/263), bahwa pendapat Lailatul Qadr telah diangkat secara
keseluruhan sehingga tidak ada wujudnya lagi sama sekali, adalah
pandapat Syi’ah, seraya membawakan perkataan Abu Hurairah, ketika
ditanya apakah Lailatul Qadr telah tiada (sudah diangkat)? Lalu
menjawab: “Sungguh telah berdusta orang yang berkata demikian”. Lihat
pula Adhwa’ Al Bayan (9/32).
[35]. Demikianlah sehingga Imam Al Bukhari memberi tarjamah (judul bab)
hadits ini di Shahih-nya tersebut dengan judul (بَابُ رَفْعِ مَعْرِفَةِ
لَيْلَةِ الْقَدْرِ لِتَلاَحِي النَّاسِ), yaitu: Bab: Diangkatnya
pengetahuan (kapan terjadinya) Lailatul Qadr, disebabkan (adanya)
perselisihan antara dua orang muslim. Ibnu Katsir pun berkata ketika
mengomentari sabdanya: (فَتَلاَحَى فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ؟ فَرُفِعَتْ), “Ini
sesuai dengan sebuah perumpamaan: Perdebatan (akan) memutuskan faidah,
dan ilmu yang bermanfaat.”
[36]. Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya (8/446) membawakan beberapa
pendapat ulama, di antaranya pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud
yang mengatakan bahwa Lailatul Qadr (bisa) terjadi pada satu tahun
penuh, yang bisa diharapkan terjadinya pada setiap bulan dalam setahun.
Juga yang dihikayatkan dari Abu Hanifah bahwa Lailatul Qadr bisa
diharapkan terjadinya pada satu bulan Ramadhan penuh. Dan ada juga
pendapat-pendapat lainnya yang kebanyakan dari pendapat-pendapat
tersebut tidak berdasarkan pada dalil yang shahih.
Lihat pula pendapat-pendapat ulama yang dibawakan Al Hafizh Ibnu Hajar di kitabnya Fathul Bari (4/262-266).
[37]. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim (8/445-446).
Almanhaj.or.id
Rabu, 27 Juni 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar