Selasa, 29 November 2011
Mari Jadikan Tahun Baru Kita Lebih Bermakna
Seorang Ibu yang hidup di perbukitan umurnya sudah tua memiliki 2 buah tempayan yang digunakannya untuk mencari air, yang dipikul dipundak dengan menggunakan sebatang bambu. Salah satu dari tempayan itu retak, sedangkan yang satunya tanpa cela & selalu memuat air hingga penuh. Setibanya di rumah setelah menempuh perjalanan panjang dari sungai, air ditempayan yang retak tinggal 1/2. Selama 2 tahun hal... ini berlangsung setiap hari, dimana ibu itu membawa pulang air hanya 1_ 1/2 tempayan. Tentunya si tempayan yang utuh sangat bangga akan pencapaiannya. Namun tempayan yang retak merasa malu akan kekurangannya, & sedih, sebab hanya bisa memenuhi 1/2 dari kewajibannya. Setelah 2 tahun yang dianggapnya sebagai kegagalan, akhirnya dia berbicara kepada ibu tua itu di dekat sungai. "Aku malu, sebab Air ku Selalu bocor melalui bagian tubuhku yang retak di sepanjang jalan menuju ke rumahmu." Ibu itu tersenyum, "Tidakkah kau lihat bunga beraneka warna di jalur yang kau lalui, namun tidak ada di jalur yang satunya ? Aku sudah tahu kekuranganmu, jadi aku menabur benih bunga di jalurmu & setiap hari dalam perjalanan pulang kau menyirami benih2 itu. Selama 2 tahun aku bisa memetik bunga2 cantik untuk menghias meja. Kalau kau tidak seperti itu, maka rumah ini tidak se indah ini, sebab tidak ada bunga." Kita semua mempunyai kekurangan masing2, namun keretakan & kekurangan itulah yang menjadikan hidup kita bersama menyenangkan & memuaskan. Kita harus menerima setiap orang apa adanya, & mencari yang terbaik dalam diri mereka. Sahabat sesama tempayan yang retak, semoga hari kalian menyenangkan. Jangan lupa mencium wanginya bunga2 di jalur kalian, selamat memulai beraktivitas di minggu akhir november ini, semoga kesuksesan beserta kita semua...
Minggu, 27 November 2011
Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur'an ( PTIQ )
Sejarah Berdiri
Institut PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an) merupakan pendidikan tinggi pertama yang mengkhususkan diri di bidang kajian ilmu-ilmu Al-Qur'an didirikan 1 April 1971 oleh Yayasan Ihya 'Ulumiddin yang dipimpin oleh K.H. Moh. Dahlan (Menteri Agama saat itu). Sejak 12 Mei 1973 pengelolaan Institut ini diserahkan kepada Yayasan Pendidikan Al-Qur'an yang didirikan oleh Letjen (Purn.) H. Ibnu Sutowo. Kini diteruskan oleh putranya, H. Ponco Susilo Nugroho.
Keberadaan para ulama ahli Al-Qur'an ini sangat terasa, sehingga tak kurang Presiden Republik Indonesia dalam amanatnya pada Musabaqah Tilawatil Qur'an Nasional III di Banjarmasin mengingatkan pentingnya untuk meningkatkan upaya penghayatan dan pemahaman kitab suci Al-Qur'an sebagai pedoman hidup manusia.
Misi
- Mencetak sarjana dan ulama yang ahli Al-Qur'an
- Mengkaji ilmu-ilmu Al-Qur'an sebagai khazanah dan sumbangsih bagi pengembangan budaya untuk ketinggian martabat, kemajuan, dan kesejahteraan umat manusia
- Mengaktualisasikan pesan-pesan Al-Qur'an dalam upaya menjawab problematika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Tujuan
- Mencetak kader-kader ulama yang hafidz Al-Quran.
- Menghasilkan sarjana yang mendalami ilmu-ilmu agama Islam (Tafaqquh fid-din) dan bertanggung jawab atas pengembangan agama (iqamat ad-din) serta pembangunan masyarakat.
- Mengembangkan kajian ilmu-ilmu Al-Qur'an, pesan-pesan dan nilai-liai yang terkandung didalamnya, untuk dapat diterapkan dalam kehidupan nyata serta sebagai sumbangan untuk mengatasi berbagai problem masyarakat.
Kata Hikmah Buya Hamka
Rangkaian Kata Hikmah Dan Petuah Dari Buya Hamka
Dari buku Di Bawah Lindungan Ka'bah
Kejadian yang mendukakan hati dan menerawankan pikiran.
Kehidupan itu laksana lautan: " Orang yang tiada berhati-hati dalam mengayuh perahu, memegang kemudi dan menjaga layar, maka karamlah ia digulung oleh ombak dan gelombang. Hilang di tengah samudera yang luas. Tiada akan tercapai olehnya tanah tepi".
Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi. Namun ilmu tanpa iman, bagaikan lentera di tangan pencuri.
Tali tempat bergantung telah putus dan tanah tempat berpijak telah terban.
Masa itu daun sedang rimbun, bunga sedang kembang dan buah sedang lebat.
Tentang penulisan pada
" Walaupun di dalam
Cinta itu adalah jiwa. Antara cinta yang sejati dan jiwa tak dapat dipisahkan. Cinta pun merdeka sebagaimana jiwa. Cinta itu terkadang mustahil. Tetapi kemustahilan itulah yang kerap kali memupuk rasa cinta.
Seseorang yang terkena penyakit cinta, maka ia (seolah-olah) takut akan terkena cinta itu. Itulah dua sifat dari cinta. Cinta itulah yang merupakan (menyerupakan) dirinya menjadi sebuah ketakutan. Cinta itu kerap kali berupa putus harapan, takut, cemburu, iba hati dan kadang-kadang berani. (Namun) terkadang cinta itu hanya menurutkan perintah hati, bukan perintah otak.
Emas tak setara dengan loyang. Sutra tak sebangsa dengan benang.
Karam rasanya bumi ini saya pijakkan. Gelap tujuan yang akan saya tempuh.
Bahwasanya air mata tiadalah ia memilih tempat untuk jatuh. Dan tak pula memilih waktu untuk turun.
Dahulu diriku telah berduka, sekarang berduka cita. Dan kelak agaknya akan terus berduka hati.
Cinta itu adalah persaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia. Ia (cinta itu) laksana setetes embun yang turun dari langit. Bersih dan suci. Cuma tanahnyalah yang berlainan menerimanya.
Bahwasanya cinta yang bersih dan suci (murni) itu, tidaklah tumbuh dengan sendirinya.
Untung dan bahagia sejati adalah jika kita tahu bahwa kita tidak hidup terbuang di dalam dunia ini. Tetapi ada orang (lain) yang mencintai kita (yaitu: Allah SWT, nabi SAW dan kedua orang tua kita).
Hanya menumpahkan air mata itulah kepandaian yang paling penghabisan bagi seorang wanita.
Satu hati lebih mahal dari pada senyuman. Satu jiwa lebih berharga dari pada sebentuk cincin.
Tidak ada seutas tali pun tempat saya bergantung selain dari pada tali Engkau ( ya Allah). Tidak ada satu pintu yang akan saya ketuk, lain dari pada pintu Engkau (ya tuhanku).
(Wahai bundaku): " hidupmu yang tiada mengenal rasa putus asa. Kesabaran dan ketenangan hatimu (dalam) menanggung sengsara. Dapatlah kiranya menjadi tamsil dan ibarat kepada kami".
Dari buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck:
Bukit putus rimba keluang
Di rendam jagung dihangusi
Hukum putus badan terbuang
Terkenang kampung kutangisi
Ilmu apakah yang saya dapatkan disini, negeri ini begitu sempit, dunia terbang akhiratku pergi.
Pepatah orang
Pantun-pantun Buya Hamka:
Pulanglah kapal dari Mekkah
Penuh muatan orang haji
Awas-awas engkau melangkah
Memetik bunga dalam duri
Hendak tahu dibaik orang
Tanyakan kepada kawannya
Hendak tahu diburuk orang
Tanyakan kepada lawannya
Kupas dasun di dalam belanga
Rama-rama bertali abuk
Upas racun kiranya dunia
Makin lama makin memabuk
Pulau pandan jauh di tengah
Di balik pulau Angsa dua
Hancur badan dikandung tanah
Budi adik terkenang jua
Anak kandung jangan menangis. Orang penangis lekas rabun. Orang penggamang mati jatuh. Orang pemarah tanggal iman dan pehiba hati lekas tua.
Dari buku Kenang-kenangan Hidup, Jilid 3.
putus tali layang-layang
robek kertas tentang bingkai
hidup nan jangan menyepalang
wahai diriku teruslah maju
di tengah jalan jangan berhenti
sebelum ajal janganlah mati
keredhaan Allah itulah tuju
hati yang luas tak bertepi
cinta yang dalam tak terajuk
kau minta permadani
padaku hanya tikar pandan
awan berarak kabut berserak
di bunga yang mekar pagi
di bayang fajar menyingsing
di embun menyentak naik
di ombak memukul karang
di riak menghempas diri
di oleng biduk nelayan
di layer perahu jauh
di kepul asap jerami
di awan arak-berarak
di langkah ternak beriring
di uban menjuntai kening
di pudding yang panca warna
jauh tidak berantara
dekat tak bersatu
ragu hati rembang mata
warna-warni kembang di taman
senyum simpul mengajuk jantung
kungkung jiwa atasi nafsu
jangan murung terkatung-katung
pilih satu terima untung
hidup insani dilingkung batas
hidup hewan yang lepas bebas
biarkan orang tumbuh menurut alamnya
kalau tidak naik membubung, biarlah mati tersungkur.
Dari pepatah Minang: " suka yang tidak boleh ditukar, malu yang tidak boleh dibagi.
Beras yang putih untuk Jepang
Di kita jagung campur ubi
Banyak bicara kena lampang (kena tampar)
Apalah artinya saya, memasang lilin di dekat kampu-lampu besar yang menyala-nyala. Menyinarkan terangnya diseluruh alam
Kalau berhembus angin selatan
Jangan lekas riang gembira
Kalau bergoncang tali bubutan
Jangan lekas berputus asa
Selama nyala iman di dada
Panah tujuan tidaklah hilang
Tuhan Allah tetaplah ada
Tanah airku tetap menang
Maka berbicaralah dia sepatah demi sepatah. Tenang tapi berombak. Lambat tapi bergelombang.
Rupanya mengapa Bung Karno begitu mengena pidatonya di tiap rakyat dan negeri! Sebab, di tiap negeri yang ia datangi, amat pandai ia mengarang pujian untuk orang dan negeri (tempat ia berpidato itu). Maka pidatonya pun diterima dengan senang hati dan (tepuk tangan) gemuruh oleh Rakyatnya.
Pandang tenang hadap ke muka.
Hilang segala kepayahan
Hilang segala kepenatan
Lupa segala penderitaan
Malam atau siang sembunyi atau tenang.
Saudara; kebesaran bukanlah karena ilmu. Meskipun keturunan dan ilmu boleh (dapat) dijadikan alat untuk menempuh kebesaran. (Sesungguhnya) kebesaran itu adalah kesanggupan seseorang dalam mengatasi kesulitan zamannya dan (ia) muncul di waktu-waktu yang tepat.
Orang politik, adat dan agama harus disatukan untuk bersatu menghadapi kesulitan.
Akal tak pernah hilang dan semangat tak pernah patah walaupun badan tak berdaya.
Sebuah nasehat Buya Hamka kepada istrinya tercinta disaat bahaya kelaparan melanda Sumatra Barat di Zaman Paceklik:
Kalau Allah tidak izinkan kita lagi untuk tinggal di dunia ini, tentu kita mati. Tetapi kalau masih beleh hidup, (maka) kita akan makan.percayalah.
Sebuah pepatah dari Sumatera Barat: " di waktu kesawah cangkul berlebih. Di waktu hendak makan piring kurang.
Demikian pulalah yang kerap terjadi di masyarakat, karena kelalaian memperhatikan sebab yang kecil, (maka) tumbul bahaya yang besar.
Taqdir itu bukanlah dielakkan melainkan dicari.
Pendirian hidup (adalah) lebih baik kita memperbaiki sangka kepada tuhan.
Mendarurat
Bebankulah sarat
Tapi cinta Negara lebih berat
Biar kaki tinggal sekerat
Kulanjutkan juga biar larat
… bila kemerdekaan telah berurat
… bila persatuan telah kokoh erat
Bahagialah aku dikala tidur di jirat (di kubur)
Bercahaya mukaku di akhirat
Dari kanan aku menerima
…aku menyerah kepada Engkau (wahai) tuahanku dengan tidak bersyarat.
Sesak nafasku kala mendaki, keringat mengalir sampai ke kaki.
Kita masih hidup, udara masih kita hirup dan nafas belum redup.
Dua cahaya menembus kegelapan. Yaitu cahaya iman dan cahaya harapan.
Selama-lama mendaki, kita (juga) akan menurun ke
Mari kita isi saat sedetik itu dengan kesan, sebutan dan kenang-kenangan.
Jika kering danau Singkarak
Maninjau ada tempatmu mandi
Minang Kabau iring berarak
Menuju takhta ibu pertiwi
Kata Hamka saat ia menyampaikan perkataan Bung Karno:
Membangun tanah air, sesudah mencapai kemerdekaan, akan lebih sukar dari pada semasa refolusi. Segala lapangan akan memerlukan banyak orang. Sedang kemerdekaan tanah air adalah jembatan emas (untuk) menuju cita-cita.
Yang membentuk pribadi dan diri kita: penyakit, penderitaan, pengalaman, kegagalan, kejatuhan dan juga kenaikan.
Pantun ini dikutip oleh Buya Hamka dari buku Rancak Di labuah, karangan: Datuak Panduko Alam.
Ini merupakan pantun masyarakat Sumatera Barat yang Hamka kutip di masa pendudukan Jepang.
Ini merupakan ungkapan Hamka disaat berpidato di depan rakyat di Sumatera Barat , Muhammad Hatta, Amir Syarifuddin dan Syahrir.
Ini merupakan pujian yang Hamka ungkapkan terhadap retorika Suekarno bila ia berpidato.
Memang cara ini merupakan sebuah metode yang bagus dalam berpidato dihadapan ummat di tiap negeri yang berbeda.
Sabtu, 26 November 2011
Topeng Monyet
Ironis memang........situasi kota Jakarta yang penuh dengan seabrek Fenomena kehidupan. Pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi keseimbangan tersedianya lapangan pekerjaan, membuat semakin rendahnya perekonomian dan semakin banyaknya pengangguran. Di Jakarta khususnya, Ibukota tempat saya bernaung mencari ilmu ini ,berbagai cara dilakukan oleh masyarakat dengan dalih "mencari sesuap nasi" sampai-sampai melegalkan cara-cara yang menurut saya tidak berperi kehewanan. Sebut saja Topeng Monyet.
Hari ini, Minggu, 26-11-2011, sepulangnya dari mengajar Privat Al-qur'an sehabis sholat magrib, tibalah saya disebuah persimpangan Mol Pejaten Village. Sedih bercampur iba Saya melihat seekor kera yang terikat dengan rantai, memakai topeng boneka, menegadahkan tangannya,menoleh kesana kemari, memperhatikan satu-demi satu setiap orang yang berhenti disimpang lampu merah sembari menunggu lampu hijau. Tak jauh dari situ kira-kira 3 meter duduklah pemilik kera sembari mengayunkan rantai yang terikat erat leher sang kera. Kalau saja sang kera tidak mau bekerja (pindah dari tempatnya mangkal), secara otomatis sang tuan langsung menggerak-gerakkan rantai yang menurut saya lebih tepat sejenis cambuk paksaan yang tentu saja sangat menyakitkan si kera. Dengan tergopoh-gopoh sikera segera kembali ke tempat dia bekerja karena takut akan kemarahan atau takut tidak di beri makan sang tuan. Tidak jarang ada yang memberikan uang 1000/2000 rupiah yang menurut saya orang yang dermawan ini kasihan terhadap kera yang di siksa tuannya itu, bukan secara khusus diberikan kepada pemilik kera tersebut.
Mencari penghasilan diatas penderitaan hewan inilah kata yang lebih tepat untuk ungkapan orang yang bekerja sebagai pawang topeng monyet. Monyet dilatih sedemikian rupa sehingga patuh terhadap semua perintah tuannya, kadang-kadang melakukan atraksi yang membuat tertawa orang-orang yang melihatnya.
Sulitnya pekerjaan membuat mereka terpaksa melakukan pekerjaan itu. Dengan penghasilan yang tidak seberapa, bilanglah 20-30 rb perhari, manalah cukup bagi mereka untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi bagi mereka yang telah berkeluarga, lebih-lebih dengan mahalnya bahan makanan pokok di ibukota ini.
Dengan seringnya kita mengamati Ayat kauniyah ini, seharusnya membuat kita sadar akan besarnya kasih sayang Allah kepada kita yang mempunyai kecukupan, khususnya dalam bidang ekonomi. Semoga saja Pemerintah terus berusaha untuk mengatasi berbagai masalah kemiskinan yang menimpa negara kita yang makmur ini.