Sejarah Terbentuknya Mazhab Asy-Syafi'i
Asy-Syafi'i pernah tinggal di Iraq dan berguru kepada murid Imam Abu Hanifah. Sebelumnya beliau juga pernah berguru langsung kepada Imam Malik di Madinah.
Kita tahu pada masa itu baru berkembang 2 kutub fiqih, yaitu kutub Baghdad dengan Abu Hanifah sebagai maha guru, dan kutub Hijaz dengan imam Malik sebagai maha guru.
Masing-masing punya keistimewaan. Abu Hanifah telah berhasil memecahkan sistem istimbath hukum dengan kondisi minimnya hadits shahih dan berserakannya hadits dhaif dan palsu. Kondisi yang demikian telah memaksa beliau melakukan ijtihad dan pengembangan logika hukum dengan tetap berlandaskan kepada hadits-hadits shahih, meski jumlahnya sangat minim di negerinya.
Di belahan bumi yang lain, ada Imam Malik yang tinggal di Madinah dan menjadi imam masjid sekaligus menjadi mufti. Madinah adalah kota sucinabi Muhammad SAW dan para shahabat rahiyallahu anhum ajmain. Saat itu, 100 tahunan sepeninggal generasi Rasulullah SAW dan para shahabat, di Madinah masih tersisa banyak anak cucu dan keturunan generasi terbaik.
Nyaris tidak ada yang berubah dari pola kehidupan di zaman nabi. Bahkan Imam Malik berkeyakinan bahwa setiap perbuatan dan tindakan penduduk Madinah saat itu boleh dijadikan sebagai landasan hukum. Lantaran beliau yakin bahwa mustahil generasi keturuan nabi dan para shahabat memalsukan hadits atau berbohong tentang nabi.
Maka salah satu ciri khas mazhab Malik adalah kekuatan mereka menggunakan dalil, meski kalau disandingkan dengan syarat ketat versi Al-Bukhari nantinya, hadits itu dianggap kurang kuat. Dan Imam Malik nyaris menghindari logika fiqih semacam qiyas dan sejenisnya, karena memang nyaris kurang diperlukan. Sebab kondisi sosial ekonomi di Madinah di zamannya masih mirip sekali dengan zaman nabi SAW.
Berbeda dengan kondisi sosial ekonomi di Iraq, tempat di mana Al-Imam Abu Hanifah mendirikan pusat ilmu. Selain hadits palsu banyak berseliweran, Iraq sudah menjadi kosmopolitan dengan sekian banyak dinamika yang melebihi zamannya. Banyak fenomena yang tidak ada jawabannya kalau hanya merujuk kepada nash-nash hadits saja.Maka wajar bila Abu Hanifah mengembangkan pola qiyas secara lebih luas.
Lalu di manakah posisi Al-Imam Asy-Syafi'i?
Beliau adalah murid paling pandai yang berguru kepada Al-Imam Malik ketika beliau tinggal di Madinah. Namunbeliau ke Iraq, beliau juga belajar kepada murid-murid Imam Abu Hanifah. Maka mazhab fiqih yang beliau kembangkan di Iraq adalah perpaduan antara dua kekuatan tersebut. Semua keistimewaan mazhab Malik di Madinah dipadukan dengan keunikan mazhab Hanafiyah di Iraq. Dan hasilnya adalah sebuah mazhab canggih, yaitu mazhab Al-Imam Asy-Syafi'i.
Sayangnya banyak orang yang tidak tahu sejarah seperti ini, sehingga tidak sedikit yang memandang mazhab Asy-Syafi'i dengan pandangan minor dan kurang respek. Padahal, logika sederhananya, dengan menggunakan mazhab Asy-Syafi'i, boleh dibilang bahwa setiap orang sudah otomatis menggunakan mazhab Abu Hanifah dan Malik sekaligus. Meski tidak secara pas boleh dikatakan demikian.
Munculnya Qaul Jadid
Al-Imam Asy-syafi'i adalah seorang ilmuwan tulen. Dirinya tidak akan puas dengan satu ilmu. Adalah merupakan kebiasaan beliau untuk melakukan perjalanan dari barat hingga timur, dari utara hingga selatan. Seluruh hidupnya dicurahkan untuk menuntut ilmu.
Makasetelah tinggal di Iraqbeberapa lama, Al-Imam As-syafi'i kemudian pindah ke Mesir. Di negeri yang pertama kali dibebaskan oleh Amr bin Al-Ash itu, beliau menemukanbanyak hal baru yang belum pernah ditemukannya selama ini. Baik tambahan jumlah hadits atau pun logika fiqih.
Maka saat di Mesir itu, beliau melakukan revisi ulang atas pendapat-pendapatnya selama di Iraq. Revisinya begitu banyak sesuai dengan perkembangan terakhir ilmu dan informasi yang beliau dapatkan di Mesir, sehingga terkumpul menjadi semacam kumpulan fatwa baru. Kemudian orang-orang menyebutnya dengan istilah qaul jadid. Artinya, pendapat yang baru. Sedangkan yang di Iraq disebut dengan qaul qadim. Artinya, pendapat yang lama.
Contoh Perbedaan/ Revisi
Di antara beberapa contoh perbedaan atau hasil revisi ulang pendapat beliau adalah:
1. Air Musta'mal
Selama di Iraq, Asy-syafi'i berpandangan bahwa air yang menetes dari sisa air wudhu' seseorang hukumnya suci dan mensucikan. Sehingga boleh digunakan untuk berwudhu' lagi. Atau seandainya tetesan bekas wudhu' itu jatuh ke dalam bejana yang kurang dari 2 qullah, maka tidak merusak apapun.
Namun saat beliau di Mesir, beliau menemukan bahwa dalil-dalil pendapatnya itu kurang kuat untuk dijadikan landasan. Sementara beliau menemukan dalil yang sangat beliau yakini lebih kuat dari dalil pendapat sebelumnya, bahwa Rasulullah SAW dan para shahabat tidak berwudhu' dengan air bekas wudhu'. Sehingga pendapat beliau dalam qaul jadid adalah sisa air wudhu' itu air musta'mal yang hukumnya suci (bukan air najis) namun tidak sah kalau dipakai berwudhu' (tidak mensucikan).
2. Pensucian Kulit Bangkai
Hewan yang mati menjadi bangkai, maka hukum bangkai itu najis. Namun kulitnya akan menjadi suci bila dilakukan penyamakan (dibagh).
Sebelumnya Imam Asy-Syafi'i di Iraq mengikuti pendapat Imam Malik bahwa yang suci hanyalah kulit bagian luar saja. Sedangka kulit bagian dalam tetap tidak suci. Maka boleh kita shalat di atas kulit asalkan bagian dalam kulit berada di posisi bawah. Sedangkan bila posisi bagian dalam kulit atas di atas tempat kita shalat, hukumnya tidak sah, karena dianggap najis.
Ketika beliau hijrah ke Mesir, beliau mengoreksi pendapatnya menjadi suci kedua-duanya. Bagian dalam kulit dan bagian luar, keduanya sama-sama suci setelah dilakukan penyamakan.
Tentunya masih sangat banyak contoh-contoh perbadaan qaul qadim dan jadid, untuk lebih dalamnya kami persilahkan anda membaca saja kitab yang secara khusus ditulis tentang masalah ini. Hebatnya, kitab ini ditulis oleh ulama betawi yang tinggal 40-an tahun di Mesir dan Saudi. Beliau adalah Al-Ustadz Dr. Nahrawi Abdussalam Al-Indunisy, MA. Karya beliau yang kami maksudadalah kitab: Al-Imam Asy-syafi'i Bainal Mazhabaihil Qadim wal Jadid. (Imam Syafi'i: antara mazhab lama dan baru).
Lumayan tebal untuk ukuran kita, sekitar 750-an halaman. Tetapi termasuk tipis untuk ukuran kitab berbahasa arab. Sayangnya, beliau belum sempat menerjemahkan dan menerbitkannya dalam bahasa Indonesia. Yang kami miliki sebagai hadiah pribadi dari beliau adalah dalam versi bahasa arab aslinya.
Semoga Allah SWT melimpahkan pahala besar kepada Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah dan kepada almarhum Ustadz Nahrawi Abdussalam atas jasa-jasa mereka dalam mengembangkan ilmu syariah. Amien.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
0 komentar:
Posting Komentar